Masjid Agung Luwu Palopo Memilih: Sekadar Ganti Pengurus atau Ganti Arah Kiblat Peradaban?


* Oleh: H. Muhammad Aslam
(Plh. Kasi Bimas Islam kemenag Kota Palopo Palopo/Sekretaris Ikatan Mubaligh Kota Palopo)

Pada Jumat, 26 September 2025, setelah salat Jumat, bertempat di Aula Lantai II Masjid Agung Luwu Palopo, diadakan musyawarah pemilihan pengurus baru periode 2025-2028. Musyawarah yang difasilitasi oleh pelaksana harian pengurus ini menghadirkan semua unsur yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor DJ.II/802 Tahun 2014.

Tentu, hal ini bukan sekadar pergantian pengurus, melainkan sebuah momentum krusial untuk merevitalisasi dan mentransformasi peran Masjid Agung Luwu Palopo, melampaui fungsinya sebagai tempat ibadah ritual semata.

Harapan kita bersama adalah terwujudnya sebuah masjid yang dinamis, inklusif, dan menjadi episentrum kemajuan umat. Sudah saatnya Masjid Agung Luwu Palopo mengambil peran strategis sebagai motor penggerak peradaban di tingkat kota.

Berdasarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor DJ.II/802 Tahun 2014, status Masjid Agung memberikannya mandat sebagai pusat kegiatan keagamaan pemerintah dan masyarakat muslim di tingkat kabupaten/kota. Artinya, Masjid Agung Palopo bukanlah sekadar masjid lingkungan, melainkan sebuah institusi strategis dengan lingkup pelayanan seluruh kota.

Peran ini diperkuat oleh teladan sejarah. Rasulullah SAW menjadikan Masjid Nabawi sebagai pusat segala aktivitas umat: pusat ibadah, pendidikan, hukum, pemberdayaan ekonomi melalui Baitul Mal, hingga pusat informasi dan pemerintahan. Visi inilah yang harus kita hidupkan kembali untuk menjadikan masjid sebagai institusi yang membangun umat berkualitas, moderat, berdaya, dan bersatu.

Transformasi Pertama harus dimulai dengan meneguhkan peran Masjid Agung Luwu Palopo sebagai pusat pendidikan, terutama dalam lingkup pendidikan nonformal. Masjid bukan hanya tempat sujud, tetapi juga tempat akal dan ilmu diasah untuk melahirkan generasi cerdas berakhlak mulia. Program yang dijalankan harus terstruktur dan melayani semua segmen usia, mulai dari Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), majelis taklim, pengajian kitab kuning, kajian khusus muslimah, kelompok studi pemuda, hingga bimbingan belajar bagi pelajar.

Untuk mendukung peran tersebut, Masjid Agung Luwu Palopo harus merevitalisasi perpustakaannya. Perpustakaan adalah jantung intelektual masjid. Ia tidak boleh lagi menjadi gudang buku usang. Kita membutuhkan pusat literasi modern dengan koleksi buku terkurasi, akses ke sumber daya digital seperti e-book dan jurnal Islam, serta fasilitas komputer. Ini akan menjadikan perpustakaan masjid sebagai rujukan ilmu pengetahuan bagi seluruh masyarakat Palopo.

Masjid juga perlu memfasilitasi pelatihan yang relevan dengan tantangan zaman, seperti lokakarya perencanaan keuangan keluarga, seminar parenting Islami, atau pelatihan keterampilan teknis. Ini memperkuat peran masjid sebagai pusat pengembangan manusia seutuhnya.

Transformasi kedua adalah mewujudkan masjid yang inklusif dan ramah untuk semua. Semangat inklusivitas harus diwujudkan secara nyata dengan menjadikan Masjid Agung Luwu Palopo sebagai rumah ibadah yang ramah bagi semua kalangan, termasuk para penyandang disabilitas, lansia, dan anak-anak. Hal ini dapat dimulai dengan penyediaan infrastruktur yang aksesibel, seperti jalur landai (ramp) untuk pengguna kursi roda, pegangan rambat di area wudu dan tangga, serta toilet khusus yang memadai.

Untuk jamaah lansia, ketersediaan kursi untuk salat dan jalur yang aman adalah sebuah keharusan. Tidak kalah penting, masjid perlu menyediakan ruang yang nyaman bagi anak-anak, seperti pojok bermain yang edukatif atau ruang laktasi bagi ibu menyusui, sehingga para orang tua dapat beribadah dengan tenang. Menjamin aksesibilitas bagi mereka bukanlah sekadar fasilitas tambahan, melainkan cerminan dari Islam sebagai rahmat bagi semesta alam yang tidak meninggalkan seorang pun.

Transformasi ketiga adalah memberdayakan generasi muda. Generasi muda adalah pewaris masa depan masjid. Pembinaan mereka bukanlah program tambahan, melainkan investasi strategis. Masjid Agung harus menjadi rumah yang ramah dan menarik bagi kaum muda, memposisikan mereka sebagai subjek aktif, bukan sekadar objek dakwah.

Langkah pertama adalah membentuk atau merevitalisasi organisasi Remaja Masjid yang mandiri dan terstruktur. Ketiadaan pengurus remaja masjid yang aktif di Masjid Agung Luwu Palopo dalam beberapa tahun terakhir menjadi sebuah ironi yang harus segera diakhiri. Remaja Masjid harus menjadi mitra strategis DKM, diberi kepercayaan untuk mengelola program yang relevan dengan dunia mereka, seperti mengemas kajian tematik dan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) dalam format talkshow atau diskusi panel yang interaktif.

Transformasi keempat adalah menjadi lokomotif kemandirian ekonomi Umat. Masjid Agung Luwu Palopo memiliki potensi besar untuk menjadi motor penggerak ekonomi, mengubah paradigma dari masjid yang meminta menjadi masjid yang memberi dan memberdayakan.

Pengurus baru dapat mengadopsi model yang terbukti berhasil. Prioritas utama adalah mendirikan Koperasi Syariah atau Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Lembaga ini dapat menyalurkan pembiayaan syariah yang produktif untuk memberdayakan pedagang kecil dan wirausahawan di Palopo. Selain itu, area komersial masjid dapat ditata secara profesional untuk menyediakan ruang usaha bagi pelaku UMKM, menciptakan ekosistem ekonomi yang hidup di sekitar masjid.

Selanjutnya, Masjid Agung harus menjadi contoh pemberdayaan zakat, infak, dan sedekah (ZIS). Sudah saatnya Masjid Agung Luwu Palopo merevitalisasi Unit Pengumpul Zakat (UPZ) agar mampu mengelola ZIS secara profesional. Dengan pengelolaan ZIS yang baik, Masjid Agung dapat selalu hadir memberikan bantuan kepada masyarakat, misalnya saat terjadi musibah banjir dan kebakaran, atau dalam membantu fakir miskin. Jika pengelolaan ZIS dilakukan secara baik, kita bisa bermimpi Masjid Agung Luwu Palopo dapat menjadi Lembaga Amil Zakat (LAZ) berskala kabupaten/kota.

Terkait pengelolaan kebutuhan masjid, kita bisa meniru transparansi biaya operasional seperti di Masjid Jogokariyan, Yogyakarta. Dengan menyosialisasikan kebutuhan operasional masjid secara terbuka, kita menumbuhkan kesadaran dan rasa kepemilikan kolektif. Jamaah didorong menjadi “jamaah mandiri” yang secara sadar menopang rumah ibadah mereka.

Pada akhirnya, keberhasilan program ekonomi masjid tidak diukur dari besarnya dana yang disalurkan, tetapi dari berapa banyak penerima manfaat (mustahik) yang berhasil diberdayakan hingga mandiri secara ekonomi dan bertransformasi menjadi pemberi zakat (muzakki). Tugas ini berat, namun bukan mustahil. Dengan kepengurusan yang profesional, amanah, dan visioner, didukung oleh partisipasi aktif seluruh jamaah, kita dapat mewujudkan cita-cita ini. Mari bersama-sama menjadikan Masjid Agung Luwu Palopo bukan hanya sebagai bangunan yang megah, tetapi sebagai pusat lahirnya peradaban umat yang unggul. (*)

News Berita News Flash Blog Technology Sports Sport Football Tips Finance Berita Terkini Berita Terbaru Berita Kekinian News Berita Terkini Olahraga Pasang Internet Myrepublic Jasa Import China Jasa Import Door to Door

More From Author

Pilketos SMAN 2 Torut Paslon Keisya dan Brilian Terpilih, Kepala Sekolah: Laksanakan Tugas Panggilan Sesuai Visi Misi

Mantap! Lima Pemain Muda PSM Makassar Dipanggil untuk Persiapan Sea Games